Minggu, 13 Oktober 2013

HIKMAH DALAM BERQURBAN

Hikmah serta Manfaat Keutamaan Dalam Berqurban di bulan Dzulhijjah ini adalah setelah dua bulan kita berpisah dari Ramadhan dan sepekan lagi kita akan bertemu dengan bulan Dzulhijjah. Jika bulan Ramadhan sering disebut sebagai madrasah Ramadhan, Dzulhijjah juga bisa disebut dengan Madrasah Dzulhijjah, mengingat banyaknya nilai tarbiyah di dalamnya. Pada keutamaan amal bulan Dzulhijjahjuga banyak keu
tamaan yang melekat pada sejumlah ibadah khusus pada bulan mulia tersebut.

Bulan haji ini di Indonesia bahkan diidentikkan dengan bulan yang banyak dimanfaatkan untuk acara pernikahan di bulan haji Bulan Dzulhijjah ini dan juga banyak yang menikah juga pas hari raya idul adha setelah sholat hari raya idul adha akan diikuti dengan pembagian daging kurban. Tetapi tentu saja dalam Islam bulan ini memiliki kedudukan yang mulia serta terdapat banyak sekali amalan bulan dzulhijjah yang dapat kita kerjakan dan sayang sekali untuk dilewatkan. Dan salah satunya adalah dengan qurban itu sendiri.


Dalam bulan haji ini juga disyariatkannya untuk menyembelih hewan qurban setelah sholat ied Idul Adha. Adapun dalil yang menunjukkan disyariatkannya menyembelih hewan qurban adalah Al-Qur`an, As-Sunnah, dan kesepakatan para ulama. Adapun dalil dari Al-Qur`an, di antaranya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala : "Maka dirikanlah shalat karena Rabbmu dan sembelihlah hewan qurban." (QS. Al-Kautsar: 2). 

Dan adapun dalil menyembelih hewan Qurban dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam adalah : "Sesungguhnya yang pertama kali kita mulai pada hari ini adalah shalat. Kemudian kita pulang lalu menyembelih hewan qurban. Barangsiapa berbuat demikian maka dia telah sesuai dengan sunnah kami, dan barangsiapa yang telah menyembelih sebelumnya maka itu hanyalah daging yang dia persembahkan untuk keluarganya, tidak termasuk ibadah nusuk sedikitpun." (HR. Al-Bukhari no. 5545 dan Muslim no. 1961/7)

Banyak pula hikmah keutamaan berqurban yang kita dapatkan dari meneladani ajaran Islam ini dan juga salah satu ajaran Nabi Ibrahim. Diantara keutamaan qurban adalah :

  1. Berqurban dalam agama kita Islam ini adalah juga merupakan syi’ar-syi’ar Allah Subhanahu wa Ta’ala, sebagaimana yang telah lewat penyebutannya dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala surat Al-Hajj ayat 36 yang artinya adalah : "Dan telah Kami jadikan untuk kamu unta-unta itu sebagian dari syiar Allah, kamu memperoleh kebaikan yang banyak padanya, maka sebutlah olehmu nama Allah ketika kamu menyembelihnya dalam keadaan berdiri (dan telah terikat). Kemudian apabila telah roboh (mati), maka makanlah sebagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta.". Demikianlah dengan berqurban maka kita juga termasuk mengagungkan salah satu dari syiar-syiar Islami.
  2. Keutamaan qurban berikutnya adalah bahwasannya berqurban termasuk dalam hal qurban dalam hari raya Idul Adha ini adalah merupakan bagian dan salah satu dari Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menganjurkan dan melaksanakannya. Maka setiap muslim yang berqurban di hari Raya Idul Adha ini seyogyanya mencontoh dan meneladani beliau Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam pelaksanaan ibadah qurban yang mulia ini.
  3. Memberikan dan memotong hewan qurban ini termasuk salah satu bentuk ibadah kepada Allah Ta'ala yang paling utama. Dalil berqurban adalah bentuk ibadah yang utama adalah firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala yang artinya :"Katakanlah: ‘Sesungguhnya shalatku, sembelihanku, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam. Tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)’." (QS. Al-An’am: 162-163). Dan juga firman Nya yang lainnya yang artinya :"Maka dirikanlah shalat karena Rabbmu dan sembelihlah hewan qurban." (QS. Al-Kautsar: 2)
Tadi dia atas adalah beberapa keutamaan berqurban dan berikut di bawah ini adalah hikmah qurban dan berqurban dalam Islam yaitu :
  1. Bersyukur kepada Allah atas nikmat hayat (kehidupan) yang diberikan. Karena begitu banyak limpahan nikmat yang telah Allah Ta'ala karuniakan kepada kita semuanya dan termasuk juga nikmat sehat yang ada pada diri kita semuanya adalah merupakan salah satu bentuk kecil nikmat Allah atas kita dari berbagai nikmat Allah yang tak akan mungkin kita bisa menghitungnya.
  2. Hikmah qurban berikutnya adalah menghidupkan ajaran Nabi Ibrahim ‘alaihis salaam dan juga menjalankan sunnah Nabi Ibrahim tersebut. Ajaran Nabi Ibrahim ‘alaihis salaam yang ketika itu Allah memerintahkan beliau untuk menyembelih anak tercintanya sebagai tebusan yaitu Ismail ‘alaihis salaam ketika hari an nahr (Idul Adha). Begitu banyak pula hikmah keutamaan ajaran Nabi Ibrahim ini dalam hal berqurban.
  3. Hikmah berqurban ini juga agar kita sebagai seorang mukmin untuk bisa mengingat kesabaran Nabi Ibrahim dan Isma’il ‘alaihimas salaam, yang ini membuahkan ketaatan pada Allah dan kecintaan pada-Nya lebih dari diri sendiri dan anak. Pengorbanan seperti inilah yang menyebabkan lepasnya cobaan sehingga Isma’il pun berubah menjadi seekor domba. Jika setiap mukmin mengingat kisah ini, seharusnya mereka mencontoh dalam bersabar ketika melakukan ketaatan pada Allah dan seharusnya mereka mendahulukan kecintaan Allah dari hawa nafsu dan syahwatnya.
  4. Ibadah qurban lebih baik daripada bersedekah dengan uang yang senilai dengan hewan qurban. Ibnul Qayyim berkata, "Penyembelihan yang dilakukan di waktu mulia lebih afdhol daripada sedekah senilai penyembelihan tersebut. Oleh karenanya jika seseorang bersedekah untuk menggantikan kewajiban penyembelihan pada manasik tamattu’ dan qiron meskipun dengan sedekah yang bernilai berlipat ganda, tentu tidak bisa menyamai keutamaan udhiyah."( Shahih Fiqh Sunnah, 2: 379 )

Sabtu, 05 Oktober 2013

pengertian ahimsa

Pengertian Ahimsa



Salah satu sloka dalam ajaran Veda mengatakan; “Ahimsaya paro dharmah” yang bisa diartikan: “Dharma atau kebajikan tertinggi adalah ahimsa”.
Apa itu ahimsa? Beberapa orang mengatakan bahwa ahimsa berasal dari kata “a” yang artinya tidak dan “himsa” yang artinya membunuh. Sehingga mereka mengatakan bahwa ahimsa artinya tidak membunuh. Permasalahannya adalah apakah mungkin dalam kehidupan ini kita lepas dari pembunuhan? Setiap mahluk hidup dari yang terbesar sampai kepada yang terkecil memerlukan makanan dalam mempertahankan hidupnya dan semua itu tidak mungkin lepas dari pembunuhan. Manusia yang menjalani kehidupan frutarian yang hanya memakan daging buah sekalipun tidak akan pernah luput dari pembunuhan. Setiap udara yang dia hirup akan membawa sejumlah jasat renik yang akhirnya binasah akibat sistem pertahanan tubuhnya. Setiap air yang dia masak sudah pasti mengandung jutaan bakteri dan virus. Dan setiap gerak langkah aktivitasnya meski dilakukan secara tidak sengaja, sudah pasti berkaitan dengan pembunuhan. Sehingga dengan demikian, tidaklah tepat jika “ahimsa” diartikan sebagai tidak membunuh.



Srila Prabhupada dalam Bhagavad Gita menurut aslinya sloka 10.5, 13.8, 16.2, dan 17.14 mengartikan ahimsa sebagai tidak melakukan kekerasan. Memang benar bahwasanya membunuh adalah salah satu bentuk dari tindakan kekerasan. Tetapi ada pembunuhan-pembuhuhan yang diijinkan dan bahkan diwajibkan oleh ajaran Veda. Membunuh untuk mempertahankan hidup bukanlah tindakan himsa karma. Bahkan Bhagavad Gita yang disabdakan oleh Kepribadian Tuhan Yang Maha Esa, Sri Krishna adalah merupakan perintah kepada Arjuna untuk bangkit dan melakukan kewajibannya membunuh lawan-lawannya di medan perang. Pembunuhan harus dilakukan dalam rangka melakukan tugas dan kewajiban. Seorang Brahmana yang berkualifikasi dapat pembunuhan binatang dalam rangka korban suci. Seorang Ksatria seperti Arjuna yang tugas dan kewajibannya bela negara dan menghancurkan musuh demi dharma maka harus siap melakukan pembunuhan walaupun yang harus dia bunuh adalah sanak keluarga, guru dan saudara-saudaranya sendiri. Begitu juga dengan seorang Hakim sebagaimana disampaikan dalam kitab hukum Hindu, Manu Samhita tidak boleh disalahkan hanya karena dia menjatuhkan hukuman dan mengeksekusi mati narapidana yang telah terbukti melakukan dosa berat membunuh orang lain. Seseorang yang membela diri dari serangan perampok demi mempertahankan jiwa raga dan harta bendanya pun tidak boleh disalahkan karen membunuh si perampok. Begitu juga semua mahluk hidup yang melakukan pembunuhan demi makan dan mempertahankan hidupnya tidak bisa serta merta kita salahkan. Bahkan Bhagavata Purana 6.4.9 mengatakan: “annaḿ carāṇām acarā hy apadaḥ pāda-cāriṇām ahastā hasta-yuktānāḿ dvi-padāḿ ca catuṣ-padaḥ, secara alamiah, buah-buahan dan bunga diperuntukkan sebagai makanan untuk serangga dan burung; rumput dan binatang yang tidak berkaki adalah sebagai makanan binatang berkaki empat seperti sapi dan kerbau; binatang yang tidak menggunakan kaki depannya sebagai tangan adalah makanan bagi binatang seperti macan, yang memiliki cakar; dan binatang berkaki empat seperti rusa dan kambing, maupun biji-bijian, adalah makanan bagi manusia”. Ini berarti secara alami manusia memang diijinkan melakukan pembunuhan binatang untuk kebutuhan hidupnya.
 
Meskipun demikian, hendaknya kita harus menyikapi “hak” membunuh ini dengan sangat hati-hati. Jangan beranggapan bahwasanya kita bisa melakukan pembunuhan sembarangan dengan alasan bahwa sang roh tidak pernah terbunuh meski badan materialnya terbunuh. Karena tidakan membunuh seperti ini bertentangan dengan prinsip bahwasanya jika suatu mahluk hidup dibunuh tanpa aturan kitab suci, itu berarti kita telah menghalangi proses evolusi sang roh mahluk hidup bersangkutan. Karena itulah dikatakan pula bahwa ahimsa dapat diartikan tidak menghalang-halangi kehidupan makhluk hidup mana pun yang maju dari salah satu jenis kehidupan ke jenis kehidupan yang lain.

 
Dalam melakukan pembunuhan kita juga harus memandang kualifikasi personal kita. Sebagai contoh, pembunuhan binatang dalam korban suci diijinkan dengan tujuan agar roh binatang yang dikorbankan tersebut bisa naik derajatnya dan mencapai sorga. Permasalahannya adalah apakah saat ini masih ada Brahmana yang berkualifikasi? Apakah kita sanggup mengangkat roh binatang yang kita bunuh tersebut mencapai sorga sementara diri kita sendiri belum tentu bisa mencapai sorga? Karena itulah kitab suci Veda sebagaimana tertuang dalam Vishnu Puräna 6.2.17, Padma Puräna Uttara Kanda 72.25, Brhan-Naradiya Puräna 38.97, Bhägavata Puräna 11.5.32 dan 12.3.52, Narayana Samhita serta banyak lagi sloka-sloka Veda yang lainnya menegaskan bahwa pada Kali Yuga ini korban suci binatang tidak dianjurkan karena hampir tidak ada Brahmana yang memiliki kualifikasi melakukan korban binatang.

 
Demikian juga dalam hal membunuh untuk alasan makanan demi mempertahankan hidup. Benarkah tindakan kita membunuh suatu binatang untuk mempertahankan hidup atau hanya demi memenuhi nafsu kita memakan berbagai jenis daging? Pada jaman sekarang yang kita katakan sebagai peradaban modern, manusia berusaha mengembangkan teknologi peternakan, rumah pemotongan hewan dan pemrosesannya menjadi berbagai macam produk makanan instan siap saji dengan berbagai cita rasanya. Manusia cenderung melakukan perburuan berbagai jenis makanan mulai dari kuliner tradisional yang mudah di dapat sampai pada makanan yang diolah dari daging binatang langka yang tidak seharusnya di bunuh dan bahkan juga ada yang diolah dari janin manusia sebagaimana pemberitaan yang pernah santer di dunia maya. Apakah kuliner seperti ini dapat kita kategorikan sebagai tindakan membunuh untuk mempertahankan hidup yang dibenarkan oleh ajaran Dharma?

 
Pada jaman dahulu, para Ksatria secara rutin pergi ke hutan untuk berburu. Perburuan yang mereka lakukan adalah dalam rangka melatih ilmu memanah dan bela diri mereka. Jenis binatang yang mereka jadikan target pun tidaklah sembarangan. Biasanya mereka akan berburu rusa, babi hutan dan beberapa jenis burung. Sebagai konsekuensi dari pembunuhan ini, maka daging binatang tersebut tidak boleh mereka buang, tetapi harus di makan atau dibakar dengan mengikuti aturan upacara pembakaran mayat manusia sebagaimana yang masih diikuti oleh beberapa kelompok masyarakat di Jaipur – India sampai saat ini. Demikian juga para petani, mereka biasanya melakukan perburuan terhadap binatang-binatang yang menjadi hama bagi lahan pertanian mereka. Para petani menangkap berbagai jenis serangga seperti jangkrik dan belalang yang kemudian mereka konsumsi sebagai lauk-pauk. Binatang-binatang pengerat seperti tupai, tikus dan babi hutan juga sering kali menjarah lahan pertanian mereka sehingga mereka harus memburu dan membunuhnya. Dan tentunya, binatang hasil buruan ini harus mereka santap dari pada dibuang percuma. Bahkan beberapa sistem masyarakat di Bali masih mengikuti tradisi Veda dengan melakukan upacara pengabenan bangkai tikus hasil perburuan di sawah.


Hanya saja apa yang terjadi sekarang? Babi yang dulunya merupakan hama, malahan sekarang dipelihara dan diternakkan hanya karena alasan dagingnya. Demikian juga degan binatang-binatang lainnya yang dipelihara bukan lagi dengan tujuan mempertahankan hidup, tetapi sudah mengarah pada pemenuhan selera makan semata. Padahal kalau manusia mau berpikir cerdas tanpa mendahulukan nafsu makannya semata, akan jauh lebih bijak jika mereka mengkonsumsi langsung tumbuhan atau biji-bijian yang diberikan ke binatang yang mereka ternakkan dari pada menunggu daging binatang ternah tersebut siap dikonsumsi. Menurut penelitian, untuk 1 hektar lahan jika digunakan menggemukkan 1 ekor sapi maka kita dapat menghasilkan protein sekitar 0,5 Kg. Sementara itu dalam kurun waktu yang sama, jika lahan tersebut digunakan untuk menanam kedelai dan kedelai itu langsung dapat dikonsumsi manusia maka dapat dihasilkan protein sekitar 8,5 Kg. Jadi dengan kata lain untuk bisa menikmati daging dalam jumlah yang sama kita memerluka 17 kali luas lahan jika dibandingkan dengan mengkonsumsi produk nabati. Begitu juga jika kita beternak binatang yang lain. Pada kenyataanya, maksimal hanya 10% dari seluruh makanan yang kita berikan kepada binatang tersebut yang terkonversi menjadi daging, sementara selebihnya hanya akan terbuang percuma menjadi kotoran. Sehingga secara hitung-hitungan ekonomi, dengan mengurangi konsumsi daging sebenarnya kita bisa berhemat sumber daya alam sampai 90%.
 
Saat ini terjadi bencana kelaparan di mana-mana bukan karena Bumi tidak mampu menyediakan makanan bagi mahluk hidup yang ada di atasnya, tetapi karena keserakahan manusia dalam memanfaatkan sumber daya alam. Paul dan Anne Ehrlich dalam bukunya berjudul “Population, Resources And Environtment” mengatakan bahwa di Amerika, Untuk menghasilkan 1 pon gandum memerlukan 60 pon air, sementara untuk menghasilkan 1 pon daging perlu air 2.500 – 6.000 pon. Dan dari penjabaran-penjabaran yang dia sampaikan, diambil kesimpulan jika seluruh masyarakat dunia memiliki gaya hidup seperti orang Amerika, maka kita memerlukan 3 buah planet bumi lagi untuk menyokong kehidupan kita. Andaikan masyarakat kita peduli dengan krisis seperti ini, seharusnya bahan nabati yang dijadikan pakan ternak bisa dialihkan untuk dapat dikonsumsi langsung dan disalurkan ke daerah-daerah yang memerlukan sehingga tidak ada lagi bencana kelaparan seperti sering kali kita dengar akhir-akhir ini.

 
Jika lingkungan kita menyediakan begitu banyak makanan nabati dan tidak ada serangan hama binatang yang berarti, itu artinya sama sekali tidak ada alasan pembunuhan binatang untuk bahan makanan. Pembunuhan hanya diijinkan jika lingkungan memang benar-benar tidak mendukung. Seperti contoh suku eskimo yang hidup di Alaska dimana di sana sama sekali tidak terdapat biji-bijian dan sayuran sehingga mereka hanya bisa bertahan hidup dengan berburu anjing laut, dan berbagai jenis ikan. Begitu juga dengan mereka yang hidup di gurun dan savana yang tandus. Mungkin mereka hanya bisa bertahan hidup dengan berburu binatang liar atau berternakk beberapa jenis binatang untuk diambil susu dan dagingnya. Tetapi meskipun demikian, bukan berarti semua binatang boleh dibunuh dan dimakan dagingnya. Ṛg Veda 9.46.4 mengatakan: “gobhiḥ prīṇita-matsaram” yang berarti bahwa orang yang sudah puas sepenuhnya dengan susu tetapi ingin membunuh sapi berada dalam kebodohan yang paling kasar. Visnu Purana 1.19.65 juga mengatakan: “namo brahmaṇya-devāya go-brāhmaṇa-hitāya ca jagad-dhitāya kṛṣṇāya govindāya namo namaḥ, Tuhan yang hamba cintai, Andalah yang mengharapkan kesejahteraan sapi dan para brahmana, dan Anda mengharapkan kesejahteraan seluruh masyarakat manusia dan dunia”. Sehingga dengan demikian, andaipun kita harus membunuh untuk mempertahankan hidup dari kurangnya sumber makanan, tetapi sapi sebagai binatang yang sering kali juga disebut “mata” atau ibu dalam kitab suci Veda sama sekali tidak boleh dibunuh.

 
Dari penjabaran di atas, yang ingin saya tekankan di sini adalah bahwasanya Veda tidak pernah mengatakan tidak boleh membunuh dan tidak juga mengatakan pola hidup Vegetarian wajib bagi seluruh penganut Veda. Vegetarian adalah sebuah usaha pengendalian diri dari nafsu bagi mereka yang ada dalam tingkatan spiritualitas tertentu dan juga merupakan anjuran kitab suci Veda dalam upaya menjaga keseimbangan alam dengan cara menghindari pola hidup mengeksploitasi sumber daya alam seperti contoh peternakan modern saat ini. Jika kita hidup dalam lingkungan yang miskin bahan makanan nabati, maka kita boleh membunuh dan mengkonsumsi binatang. Jika dalam lahan pertanian kita terdapat banyak binatang yang merupakan hama, maka binatang itu dapat kita bunuh dan santap dagingnya. Tetapi jika kita hidup dalam lingkungan yang sangat mudah mendapatkan biji-bijian dan sayur-sayuran tetapi kita masih saja bersikeras memaksakan diri membunuh dan menyantap binatang, maka kita mungkin harus segera merenung. Apa benar pembunuhan yang kita lakukan sesuai dengan aturan dalam kitab suci Veda?

pengertian iman



Pengertian Iman

Pengertian iman
dari bahasa Arab yang artinya percaya. Sedangkan menurut istilah, pengertian iman adalah membenarkan dengan hati, diucapkan dengan lisan, dan diamalkan dengan tindakan (perbuatan). Dengan demikian, pengertian iman kepada Allah adalah membenarkan dengan hati bahwa Allah itu benar-benar ada dengan segala sifat keagungan dan kesempurnaanNya, kemudian pengakuan itu diikrarkan dengan lisan, serta dibuktikan dengan amal perbuatan secara nyata.


Jadi, seseorang dapat dikatakan sebagai mukmin (orang yang beriman) sempurna apabila memenuhi ketiga unsur keimanan di atas. Apabila seseorang mengakui dalam hatinya tentang keberadaan Allah, tetapi tidak diikrarkan dengan lisan dan dibuktikan dengan amal perbuatan, maka orang tersebut tidak dapat dikatakan sebagai mukmin yang sempurna. Sebab, ketiga unsur keimanan tersebut merupakan satu kesatuan yang utuh dan tidak dapat dipisahkan.

Beriman kepada Allah adalah kebutuhan yang sangat mendasar bagi seseorang. Allah memerintahkan agar ummat manusia beriman kepada-Nya, sebagaimana firman Allah yang artinya: “Wahai orang-orang yang beriman. Tetaplah beriman kepada Allah dan RasulNya (Muhammad) dan kepada Kitab (Al Qur’an) yang diturunkan kepada RasulNya, serta kitab yang diturunkan sebelumnya. Barangsiapa ingkar kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, Rasul-rasulNya, dan hari kemudian, maka sungguh orang itu telah tersesat sangat jauh.” (Q.S. An Nisa : 136)

Ayat di atas memberikan penjelasan bahwa Bila kita ingkar kepada Allah, maka akan mengalami kesesatan yang nyata. Orang yang sesat tidak akan merasakan kebahagiaan dalam hidup. Oleh karena itu, beriman kepada Allah sesungguhnya adalah untuk kebaikan manusia.

Iman Kepada Malaikat

Salah satu makhluk Allah swt. yang diciptakan di alam ini adalah malaikat. Dia bersifat gaib bagi manusia, karena tidak dapat dilihat ataupun disentuh dengan panca indra manusia.

Sebagai muslim kita diwajibkan beriman kepada malaikat. Iman kepada malaikat tersebut termasuk rukun iman yang kedua. Apa yang dimaksud iman kepada malaikat? Iman kepada malaikat berarti meyakini dan membenarkan dengan sepenuh hati bahwa Allah telah menciptakan malaikat yang diutus untuk melaksanakan tugas-tugas tertentu dari Allah.

Dasar yang menjelaskan adanya makhluk malaikat tercantum dalam ayat berikut ini yang artinya:

“Segala puji bagi Allah pencipta langit dan bumi, yang menjadikan malaikat sebagai utusan-utusan (untuk mengurus berbagai macam urusan) yang mempunyai sayap masing-masing (ada yang) dua, tiga dan empat.” (Q.S. Fatir: 1)

Hal tersebut juga dijelaskan dalam hadits riwayat Muslim tentang iman dan rukunnya. Dari Abdullah bin Umar, ketika diminta untuk menjelaskan iman, Rasulullah bersabda, “iman itu engkau beriman kepada Allah, malaikat-malaikatNya, kitab-kitabNya, Rasul-rasulNya dan hari akhir serta beriman kepada ketentuan (takdir) yang baik maupun yang buruk.”

Dalam hadits tersebut, percaya kepada malaikat merupakan unsur kedua keimanan dalam Islam. Percaya kepada malaikat sangatlah penting karena akan dapat memurnikan dan membebaskan konsep tauhid dari bayangan syirik.

Dari ayat dan hadits di atas dapat diketahui bahwa beriman kepada malaikat merupakan perintah Allah dan menjadi salah satu syarat keimanan seseorang. Kita beriman kepada malaikat karena Al Qur’an dan Nabi memerintahkannya, sebagaimana kita beriman kepada Allah dan Nabi-
Nya.